Ginseng Liar: Diggers Bukan Musuh, Tapi Sahabat!



Ginseng Liar: Diggers Bukan Musuh, Tapi Sahabat - credit to: theconversation - pibitek.biz - Pemerintah

credit to: theconversation


336-280
TL;DR
  • Penggali ginseng dipandang sebagai musuh di hutan Appalachia oleh negara.
  • Larangan mencabut ginseng di hutan nasional Appalachia membuat penggali bingung tentang peraturan negara.

pibitek.biz -Di pegunungan Appalachia, setiap September, ribuan orang berburu harta karun tersembunyi di balik rimbunnya hutan. Mereka mengincar ginseng, tanaman berakar ajaib yang dihargai tinggi di dunia. Ginseng bukan cuma tanaman biasa, lo. Dalam dunia kesehatan, ginseng punya tempat spesial. Orang-orang di Asia Timur menganggap ginseng sebagai tanaman ajaib yang bisa bikin sehat. Tapi, ginseng yang dijual di toko obat dan supermarket itu adalah ginseng hasil budidaya, bukan ginseng liar yang tumbuh bebas di alam.

Ginseng liar, si ginseng asli, tumbuh lambat di bawah naungan pepohonan di hutan Appalachia. Akarnya, yang jadi incaran, bisa tumbuh selama puluhan tahun. Harga ginseng liar? Mahal banget, bisa ratusan dolar per pon! Di Appalachia, mencabut ginseng udah jadi tradisi turun-temurun. Keluarga-keluarga yang tinggal di pegunungan mengandalkan ginseng untuk menghidupi keluarga. Mereka tahu betul hutan Appalachia seperti halaman belakang rumah sendiri, dan ginseng bagaikan harta karun yang tersimpan di sana.

Selama berabad-abad, hutan Appalachia menjadi sumber kehidupan bagi penduduk setempat. Mereka punya kebiasaan yang unik: mengelola hutan secara bersama. Masyarakat setempat bersepakat untuk menjaga hutan agar tetap lestari dan bermanfaat untuk semua orang. Tapi, seiring berjalannya waktu, banyak hutan di Appalachia yang diambil alih oleh pemerintah negara bagian dan federal. Walaupun begitu, penduduk setempat masih percaya bahwa hutan itu milik bersama. Akhir-akhir ini, mencabut ginseng dari tanah milik pemerintah jadi makin sulit.

Pengawasan makin ketat, dan denda yang dijatuhkan pada pelanggar aturan makin berat. Bahkan, ada yang sampai dipenjara. Kenaikan harga ginseng dan meningkatnya permintaan di pasar gelap bikin pemerintah kalang-kabut. Mereka menuduh para penggali ginseng sebagai biang keladi menipisnya populasi ginseng liar. Ada yang punya pandangan berbeda. Seorang ahli geografi lingkungan yang meneliti kehidupan pedesaan dan konservasi hutan di Amerika Utara melihat masalahnya lebih luas. Dia percaya, ancaman terhadap ginseng yang lebih besar datang dari aktivitas pertambangan dan perubahan iklim, bukan dari penggali ginseng.

Dia berpendapat, banyak penggali ginseng bisa jadi sahabat konservasi, bukan musuh. Sebenarnya, ginseng udah masuk daftar merah spesies langka sejak 1975. Artinya, meskipun belum terancam punah saat itu, tetapi populasinya bisa terancam di masa depan. Sekarang, ginseng dikategorikan sebagai spesies rentan di 13 dari 19 negara bagian yang mengizinkan pencabutan dan penjualan ginseng. Pemerintah pun mengeluarkan berbagai peraturan ketat untuk melindungi ginseng. Misalnya, waktu panen ginseng hanya diizinkan selama September hingga akhir musim gugur.

Penggalian ginseng dilarang di tempat-tempat tertentu, seperti taman negara dan cagar alam. Tumbuhan yang dicabut harus memiliki tiga daun, sebagai tanda usia. Dan, penggali diwajibkan menanam kembali biji ginseng di tempat yang sama. Selama dekade terakhir, pemerintah negara bagian dan federal semakin gencar menerapkan peraturan dan pengawasan yang ketat. Semua ini dilakukan untuk menekan bisnis ginseng ilegal yang menguntungkan. Pada tahun 2018, West Virginia menaikkan denda untuk pelanggaran aturan panen ginseng dari US$100 menjadi $500 hingga $1.000 untuk pelanggaran pertama.

Ohio juga mulai menggunakan anjing pelacak khusus untuk menemukan ginseng yang disembunyikan oleh orang-orang yang dicurigai melakukan pencabutan ilegal. Pemerintah melakukan operasi penyamaran dan penangkapan untuk menindak para penggali ginseng ilegal. Beberapa taman nasional dan cagar alam bahkan mewarnai atau menempelkan mikrocip pada tanaman ginseng agar mudah dilacak. Demi melindungi ginseng, pihak berwenang melarang pencabutan ginseng di hutan nasional di Kentucky, North Carolina, Georgia, dan Tennessee.

Larangan ini mencakup lebih dari 5.000 mil persegi (13.000 kilometer persegi) hutan Appalachia, luasnya lebih besar dari negara bagian Connecticut. Pengawasan yang semakin ketat membuat jumlah kasus pencabutan ginseng ilegal meningkat di berbagai negara bagian di Appalachia. Banyak yang ditangkap adalah para pedagang atau perantara dalam rantai pasokan ginseng ilegal. Tapi, berdasarkan informasi dari para petugas kehutanan, banyak yang ditangkap adalah penggali ginseng yang melanggar aturan secara tidak sengaja.

Mereka mungkin mencabut ginseng secara berkelanjutan, tetapi di tempat yang tidak diizinkan. Penggali ini masih menganggap hutan sebagai milik bersama yang bisa diakses oleh semua orang dan menolak aturan panen ginseng yang berlaku. Fenomena ini sering disebut "folk crime", istilah untuk pelanggaran yang dianggap sepele di masyarakat, seperti menyeberang jalan di luar zebra cross atau mencabut tumbuhan liar di hutan. Berdasarkan penelitian arsip dan etnografi, ternyata penggali ginseng sudah dituduh sebagai penyebab menipisnya populasi ginseng sejak akhir abad ke-19.

Pada tahun 1903, seorang ahli hortikultura bernama M. Kains menulis dalam bukunya bahwa "penggali ginseng adalah penyebab utama punahnya ginseng asli. Mereka tidak punya akal sehat". Tapi, faktanya, bukan hanya penggali ginseng yang bertanggung jawab atas menipisnya populasi ginseng. Sejak akhir abad ke-19, hutan di seluruh bagian timur Amerika Serikat ditebang untuk membuka lahan pertanian, bahan bakar, dan industri. Dalam 30 tahun terakhir, lebih dari 2.300 mil persegi (6.000 kilometer persegi) di Appalachia tengah dihancurkan akibat penambangan batu bara terbuka.

Metode penambangan ini menghancurkan semua tumbuhan, tanah, dan batuan di permukaan untuk mencapai batubara di bawahnya. Penambangan terbuka juga mengubur sungai di bawah tanah dan batu, merusak kualitas air dan mengakibatkan hilangnya hutan yang luas. Lahan yang dulunya rimbun dengan ginseng juga diratakan untuk membangun perumahan dan digembala berlebihan oleh rusa ekor putih. Perubahan iklim juga memperparah kondisi. Musim dingin di Appalachia tengah menjadi lebih hangat dan curah hujan ekstrem semakin sering terjadi, sehingga kondisi pertumbuhan ginseng terganggu.

Melalui wawancara dengan puluhan penggali ginseng, terungkap bahwa sebagian besar dari mereka hanya mencabut sebagian tanaman di suatu lokasi. Mereka menunggu sampai buah ginseng matang sebelum mencabutnya dan menanam kembali buahnya di tempat yang sama. Beberapa penggali bahkan memiliki lokasi ginseng rahasia yang mereka jaga selama bertahun-tahun. Ada juga yang membeli dan menanam biji ginseng untuk membangun populasi baru. Sebuah studi pada tahun 2016 menemukan bahwa biji ginseng yang ditanam oleh penggali lebih mudah tumbuh dibandingkan dengan biji yang jatuh ke tanah secara alami.

Peneliti lain juga menyoroti praktik konservasi yang dilakukan oleh para penggali, tekanan kompleks yang dihadapi populasi ginseng, dan ketidakadilan yang dialami oleh penduduk Appalachia yang diusir dari hutan yang selama ini menjadi milik bersama. Namun, mitos tentang "penggali ginseng yang nakal" masih beredar. Cara yang lebih baik adalah melibatkan para penggali ginseng dalam program restorasi ginseng secara besar-besaran. Sudah ada gerakan untuk menanam biji ginseng di bawah naungan pohon di lahan pribadi, tetapi sebagian besar penggali tidak memiliki lahan.

Solusi alternatifnya adalah dengan membagikan biji ginseng kepada mereka untuk ditanam di zona tertentu. Dengan berpartisipasi dalam program ini, mereka bisa mendapatkan izin mencabut ginseng di hutan milik negara bagian atau nasional. Ancaman terhadap ginseng di Appalachia memang nyata, dan pencegahan pencabutan ginseng secara berlebihan sangat penting. Namun, para penggali ginseng telah berperan penting dalam keberadaan dan kelestarian populasi ginseng. Mereka bisa menjadi sekutu konservasi yang berpengetahuan dan terampil.