- Dunia siber dipenuhi dengan kejahatan dan serangan, yang membuat keamanan menjadi prioritas utama.
- Kelompok peretas dan penjahat siber semakin lihai, mengancam keamanan individu dan lembaga.
- Perkembangan teknologi menghadirkan peluang baru, tetapi juga tantangan baru dalam menghadapi kejahatan siber.
pibitek.biz -Sepekan ini, dunia dihebohkan dengan kabar ledakan yang menerjang Lebanon. Ribuan pager, walkie-talkie, dan perangkat elektronik lainnya meledak, menebarkan ketakutan di tengah warga. Serangan ini mengincar kelompok militan Hezbollah dan diduga kuat dilakukan oleh Israel, meskipun pemerintah Israel bungkam. Terlepas dari kerusakan yang ditimbulkan, serangan ini juga menebarkan paranoia dan rasa takut, tidak hanya di kalangan anggota Hezbollah, tetapi juga di kalangan masyarakat Lebanon. Para ahli hardware dan perang menilai bahwa kejadian ini tidak akan menjadi preseden global, yang akan membuat masyarakat khawatir bahwa perangkat komunikasi dan elektronik yang mereka gunakan, seperti smartphone, dipenuhi bom.
2 – Startup AI Perplexity Bidik Pendanaan 7 Triliun 2 – Startup AI Perplexity Bidik Pendanaan 7 Triliun
3 – Samsung: Pembaruan Galaxy S22 Oktober 2024, Perbaiki 42 Kerentanan 3 – Samsung: Pembaruan Galaxy S22 Oktober 2024, Perbaiki 42 Kerentanan
Namun, serangan ini berpotensi menginspirasi serangan serupa dan membuat para pembela keamanan lebih waspada terhadap kemungkinan serangan serupa. Di sisi lain, dunia maya juga tidak luput dari aksi para peretas. Zhujian Cup 2023, sebuah kompetisi peretasan di China yang memiliki kaitan dengan militer negara tersebut, mencuri perhatian dengan aturan yang tidak biasa. Para peserta diharuskan merahasiakan konten latihan, yang mengundang dugaan bahwa mereka mungkin mengincar target nyata dalam acara tersebut.
Apple merilis aplikasi Passwords yang berdiri sendiri di iOS 18, diharapkan dapat membantu pengguna mengatasi masalah login. Namun di sisi lain, Elon Musk kembali menuai kontroversi dengan unggahannya yang mempertanyakan mengapa tidak ada yang mencoba membunuh Joe Biden dan Kamala Harris. Unggahan tersebut memicu kekhawatiran bahwa Musk berniat untuk menginspirasi kekerasan ekstremis dan menjadi ancaman keamanan nasional bagi Amerika Serikat. Sambil membahas isu keamanan siber, muncul berita mengejutkan tentang peretas Iran yang mencuri email dari kampanye Trump dan kemudian mengirimkannya ke kubu Demokrat.
Para pakar keamanan siber menilai bahwa peretas ini merupakan bagian dari kelompok APT42 yang didukung oleh negara Iran. Kelompok ini memang dikenal memiliki rekam jejak dalam melakukan serangan siber, namun motif di balik pengiriman email curian ke kubu Demokrat masih menjadi tanda tanya. Ada spekulasi bahwa ini merupakan upaya untuk mencoreng citra Trump dan menguntungkan kubu Demokrat, atau mungkin hanya upaya untuk menciptakan kekacauan. Penting untuk dicatat bahwa peretas Iran sebelumnya juga telah berhasil mencuri email dari kampanye Biden dan membagikannya ke media.
Peristiwa ini semakin menguatkan dugaan bahwa Iran terlibat dalam upaya untuk memengaruhi politik Amerika Serikat melalui serangan siber. Menanggapi kejadian ini, partai Republik tidak mau ketinggalan untuk memanfaatkan situasi ini untuk menyerang kubu Demokrat. Mereka menuding Demokrat dengan tuduhan "kolusi" dengan peretas Rusia, yang telah meretas DNC dan kampanye Clinton pada tahun 2016. Trump bahkan menuntut agar Demokrat "bersih-bersih" dan mengakui apakah mereka menggunakan materi yang diretas tersebut.
Kubu Harris membantah tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa mereka telah bekerja sama dengan penegak hukum. Mereka menganggap email yang diretas tersebut sebagai spam atau phishing, yang tidak relevan dengan kegiatan kampanye mereka. Mereka juga menegaskan bahwa mereka mengutuk segala upaya aktor asing untuk ikut campur dalam pemilihan Amerika Serikat. Selain kasus peretasan yang dilakukan oleh Iran, FBI juga mengumumkan bahwa mereka telah berhasil melumpuhkan jaringan botnet yang dikontrol oleh kelompok peretas China, Flax Typhoon.
Botnet ini terdiri dari 260.000 router dan perangkat Internet of Things (IoT) yang diduga dikendalikan oleh perusahaan China, Beijing Integrity Technology Group. Beijing Integrity Technology Group adalah perusahaan yang terdaftar di bursa saham, dan kasus ini merupakan contoh langka di mana sebuah perusahaan yang sudah dikenal publik beroperasi secara rahasia sebagai jaringan botnet atas nama negara China. Botnet tersebut diketahui telah digunakan untuk meretas lembaga pemerintah, kontraktor pertahanan, perusahaan telekomunikasi, dan target lainnya di Amerika Serikat dan Taiwan.
FBI berhasil melumpuhkan botnet tersebut, tetapi saat ini masih terdapat 60.000 perangkat yang terhubung, menjadikan botnet ini sebagai botnet milik negara China terbesar yang pernah ada. Hal ini menunjukkan bahwa China semakin aktif dalam melakukan serangan siber, yang menjadi ancaman serius bagi keamanan nasional Amerika Serikat. Di tengah hiruk pikuk dunia siber, kasus kejahatan lain yang mencengangkan juga terungkap. Dua pemuda, Malone Lam dan Jeandiel Serrano, ditangkap karena diduga mencuri ratusan juta dolar cryptocurrency dan menggunakan uang hasil kejahatan untuk membeli mobil mewah, jam tangan, perhiasan, dan tas desainer.
Malone Lam, yang dikenal secara daring sebagai "Anne Hathaway", dan Jeandiel Serrano, yang dikenal sebagai "VersaceGod", dituduh mencuri 4.100 bitcoin senilai 243 juta dolar. Mereka menggunakan teknik sosial untuk menipu korban, seorang kreditur dari perusahaan dagang Genesis yang kini sudah bangkrut. Korban ditipu untuk me-reset otentikasi dua faktor Gemini dan mentransfer bitcoin ke dompet yang diretas. Setelah itu, mereka mendistribusikan uang hasil kejahatan melalui beberapa dompet dan platform pertukaran mata uang digital.
Kasus ini menunjukkan bahwa pencurian cryptocurrency telah menjadi bentuk kejahatan siber yang umum, dan para pelaku kejahatan semakin berani dan lihai dalam menjalankan aksinya. Kejahatan siber memang tidak mengenal batas, dan para pelaku kejahatan semakin inovatif dalam mencari cara untuk meraup keuntungan. Dalam kasus lain, sebuah kelompok penjahat yang sangat kejam melakukan pencurian cryptocurrency dengan cara yang brutal dan sadis. Mereka melakukan serangkaian penyusupan ke rumah korban, mengancam, dan memaksa mereka untuk menyerahkan aset cryptocurrency mereka.
Tidak hanya itu, mereka juga melakukan penculikan dan penyiksaan. Kelompok ini dipimpin oleh Remy St. Felix, seorang pria asal Florida yang divonis 47 tahun penjara. St. Felix merupakan salah satu dari 12 anggota kelompok yang telah didakwa, divonis, dan dihukum. Sebelum melakukan serangkaian penyusupan dan intimidasi, Jarod Seemungal, anggota kelompok lainnya, diduga mencuri jutaan dolar cryptocurrency menggunakan teknik hacking yang lebih tradisional. Namun, tindakan brutal dan kekerasan yang dilakukan oleh St.
Felix hanya menghasilkan keuntungan sekitar 150.000 dolar cryptocurrency sebelum mereka ditangkap. Kasus ini memberikan pelajaran berharga bahwa kejahatan, terutama yang melibatkan kekerasan fisik, tidak akan pernah menguntungkan. Di tengah maraknya kasus kejahatan siber, Apple juga mengalami masalah dengan sistem operasi desktop terbaru mereka, macOS 15 (Sequoia). Sistem operasi terbaru ini membuat beberapa fungsi dari alat keamanan yang dikembangkan oleh CrowdStrike, SentinelOne, dan Microsoft menjadi tidak berfungsi.
Meskipun belum jelas apa yang menyebabkan masalah ini, para insinyur yang bekerja pada alat keamanan berbasis macOS mengalami kesulitan dalam menghadapi masalah tersebut. CrowdStrike bahkan menyatakan bahwa mereka belum dapat mendukung Sequoia di hari pertama peluncuran sistem operasi, yang bertentangan dengan praktik mereka sebelumnya untuk mendukung rilis sistem operasi baru dengan cepat. Apple sendiri masih belum memberikan komentar mengenai masalah ini, dan para pengembang alat keamanan harus mencari solusi sendiri.
Kejadian ini menunjukkan bahwa pembaruan sistem operasi dapat menyebabkan masalah keamanan yang tidak terduga, dan para pengembang harus berhati-hati dalam merilis pembaruan sistem operasi. Kasus peretasan, pencurian cryptocurrency, dan kejahatan siber lainnya menunjukkan bahwa dunia maya semakin berbahaya dan penuh dengan ancaman. Para peretas dan penjahat siber semakin lihai dalam menjalankan aksinya, dan mereka tidak ragu untuk menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan mereka. Penting bagi kita semua untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman siber dan melindungi diri kita dari serangan siber.
Perlu diingat bahwa kejahatan siber tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada institusi dan negara. Kasus peretasan yang dilakukan oleh Iran terhadap kampanye Trump dan kubu Demokrat menunjukkan bahwa campur tangan asing dalam politik Amerika Serikat melalui serangan siber merupakan ancaman serius yang harus diatasi. Kejadian ini juga memberikan pelajaran penting tentang pentingnya keamanan siber bagi individu dan lembaga. Namun, di balik semua kasus kejahatan siber yang mengerikan, ada sisi lain yang menarik perhatian.
Perkembangan teknologi semakin pesat, dan teknologi baru seperti cryptocurrency dan blockchain semakin populer. Walaupun teknologi ini memiliki banyak potensi, tetapi juga memiliki kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh para peretas dan penjahat siber. Hal ini menunjukkan bahwa penting untuk terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan meningkatkan keamanan siber untuk melindungi diri kita dari ancaman yang terus berkembang.