Kritik Pedas untuk AI: Hype, Janji Kosong dan Realita



Kritik Pedas untuk AI: Hype, Janji Kosong dan Realita - picture owner: wired - pibitek.biz - Sosial

picture owner: wired


336-280
TL;DR
  • Narayanan kritik hype AI yang berlebihan.
  • AI seringkali menargetkan kelompok minoritas dan miskin.
  • Narayanan dan Kapoor menekankan pentingnya edukasi AI.

pibitek.biz -Arvind Narayanan, seorang profesor ilmu komputer di Princeton University, dikenal dengan kritik tajamnya tentang AI. Bersama dengan Sayash Kapoor, Narayanan menulis buku "AI Snake Oil", yang membedah kelemahan AI dan bagaimana AI seringkali dipoles dengan janji-janji yang tak terpenuhi. Narayanan dan Kapoor mengidentifikasi tiga kelompok yang bertanggung jawab atas hype yang melingkupi AI: perusahaan AI, peneliti AI, dan jurnalis AI. Perusahaan AI, yang seringkali menjual AI sebagai solusi ajaib, disebut sebagai kelompok yang paling licik.

Mereka seringkali menjanjikan prediksi masa depan yang akurat, namun realitanya AI justru merugikan kelompok minoritas dan masyarakat miskin. Contohnya, algoritma prediksi yang digunakan di Belanda untuk mengidentifikasi potensi penipuan tunjangan sosial justru menargetkan perempuan dan imigran yang tidak fasih berbahasa Belanda. Narayanan dan Kapoor juga skeptis terhadap perusahaan yang fokus pada ancaman eksistensial seperti Artificial General Intelligence (AGI), konsep AI yang mampu melampaui manusia dalam segala aspek.

Walaupun Narayanan sendiri termotivasi oleh AGI di masa muda, ia menganggap bahwa fokus pada ancaman jangka panjang justru mengabaikan dampak AI yang nyata pada kehidupan manusia saat ini. Narayanan dan Kapoor juga mengkritik peneliti AI yang cenderung melakukan riset yang tidak dapat direplikasi, menyebabkan klaim yang berlebihan tentang kemampuan AI. Data leakage, di mana AI diuji menggunakan data yang sudah digunakan dalam pelatihan, merupakan salah satu contoh kecurangan yang sering terjadi. Narayanan dan Kapoor menuding jurnalis AI sebagai kelompok yang paling jahat, karena seringkali menukilkan siaran pers perusahaan AI sebagai berita.

Jurnalis yang terlalu dekat dengan perusahaan AI dan mengejar akses ke eksekutifnya, seringkali mengorbankan integritas jurnalistik mereka. Narayanan dan Kapoor mencontohkan kolom Kevin Roose di New York Times yang membahas chatbot Bing yang ingin "hidup". Narayanan dan Kapoor berpendapat bahwa berita-berita sensasional tentang AI dapat menyesatkan publik. Mereka mencontohkan berita yang menggunakan robot atau gambar otak manusia dengan sirkuit elektronik sebagai ilustrasi AI. Narayanan berpendapat bahwa ilustrasi tersebut menyesatkan karena memberi kesan bahwa kecerdasan semata-mata berasal dari komputasi.

Mereka menyarankan agar ilustrasi AI lebih akurat, misalnya gambar chip AI atau GPU. Narayanan dan Kapoor menekankan pentingnya edukasi yang berkualitas untuk menangkal hype AI. Mereka percaya bahwa AI, khususnya LLM, akan memiliki pengaruh besar di masa depan. Mereka menganjurkan agar masyarakat memahami konsep AI yang mendasar, seperti machine learning dan neural network, untuk menjernihkan pandangan tentang AI. Narayanan dan Kapoor bahkan mengajarkan anak-anaknya tentang AI sejak usia muda. AI saat ini telah mampu menghasilkan email yang lumayan dan membantu dalam komunikasi, namun dibutuhkan manusia yang berpengetahuan luas untuk memahami dan mengoreksi kesalahpahaman seputar AI dan menciptakan narasi yang lebih akurat.

AI bisa diibaratkan seperti sebuah kotak hitam misterius yang dibungkus dengan janji-janji muluk. Sebagian besar orang tidak tahu apa yang ada di dalamnya, namun tergiur oleh janjinya untuk menyelesaikan semua masalah. AI memang menawarkan peluang yang luar biasa, namun juga membawa risiko yang tidak boleh diremehkan. Narayanan dan Kapoor mengingatkan bahwa AI tidak selalu objektif dan netral. AI bisa bias, bahkan berbahaya, jika tidak dirancang dan diimplementasikan dengan hati-hati. AI tidak menyamai kecerdasan manusia.

AI hanya mampu meniru pola dan hubungan dalam data, bukan memahami makna di baliknya. AI juga tidak memiliki kesadaran, emosi, atau moral. Narayanan dan Kapoor mendesak agar publik tidak tertipu oleh hype yang mengelilingi AI. Mereka menyerukan agar masyarakat kritis terhadap informasi tentang AI dan mempertanyakan klaim-klaim yang tidak masuk akal. Mereka juga mengimbau agar perusahaan dan peneliti AI lebih transparan dan bertanggung jawab dalam mengembangkan dan menerapkan AI. Narayanan dan Kapoor berpendapat bahwa AI tidak seharusnya menjadi alat untuk menindas atau mengeksploitasi manusia, tetapi alat untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.

Mereka percaya bahwa masa depan AI bergantung pada bagaimana manusia memahami dan menggunakan teknologi ini. AI memiliki potensi untuk memberikan manfaat besar bagi kehidupan manusia, namun potensi itu hanya dapat terwujud jika AI digunakan secara bertanggung jawab dan etis. Manusia harus menjadi penentu arah perkembangan AI, bukan sebaliknya. Narayanan dan Kapoor menunjukkan bahwa AI bukanlah sesuatu yang ajaib, tetapi teknologi yang kompleks yang membutuhkan pemahaman yang mendalam. Mereka menyerukan agar masyarakat lebih bijak dalam memilih dan menggunakan teknologi AI, agar tidak terjebak dalam hype dan janji-janji kosong.