Drama Monopoli Google: Bukti Baru Bikin Tertekan



Drama Monopoli Google: Bukti Baru Bikin Tertekan - credit to: arstechnica - pibitek.biz - Industri

credit to: arstechnica


336-280
TL;DR
  • Persidangan Google sengit melawan Departemen Kehakiman.
  • Israel gagal membela Google, dinilai hakim tidak relevan.
  • Hakim semakin terpuruk, Departemen Kehakiman terus mengincar Google.

pibitek.biz -Persidangan sengit antara Google, raksasa teknologi yang dikenal dengan mesin pencarinya, dan Departemen Kehakiman Amerika Serikat, terkait tuduhan monopoli dalam ranah teknologi iklan, semakin memanas. Google, yang selama ini dikenal sebagai "jagoan" di dunia teknologi, kini menghadapi ujian berat untuk mempertahankan dominasinya dalam dunia periklanan digital. Perjuangan Google untuk menyelamatkan citranya dari tuduhan monopoli ini pun diwarnai dengan drama dan kontroversi. Di awal persidangan, Google mencoba menenangkan hakim dengan menunjukkan grafik yang rumit yang mereka sebut "spaghetti football".

Grafik ini dimaksudkan untuk menggambarkan ekosistem periklanan yang dinamis dan penuh kompetisi, di mana berbagai pemain berinteraksi satu sama lain dalam persaingan yang ketat. Namun, harapan Google untuk memikat hakim dengan grafik yang terlihat rumit ini justru berbalik menjadi bumerang. Alih-alih menggambarkan persaingan yang sehat, "spaghetti football" justru terlihat membingungkan dan malah menjadi bukti dominasi Google yang meluas dalam dunia periklanan digital. Para ahli yang memantau persidangan dengan saksama, pun menyoroti betapa buruknya strategi Google. "Spaghetti football" bukan hanya gagal membuktikan persaingan yang sehat, tetapi malah semakin memperjelas dominasi Google dalam dunia periklanan. Grafik yang seharusnya menjadi senjata pamungkas untuk memikat hakim malah menjadi bukti seberapa kuat cengkeraman Google dalam industri periklanan. Salah satu saksi yang dihadirkan oleh Google, Scott Sheffer, seorang eksekutif Google, memberikan kesaksian yang dinilai "terkontaminasi" oleh hakim. Kesaksian Sheffer, yang seharusnya menjadi pendukung kuat bagi Google, justru dinilai tidak relevan dan penuh dengan bias.

Kekecewaan hakim semakin terasa ketika Google menghadirkan Mark Israel, pakar yang diandalkan untuk membantah definisi pasar yang digunakan oleh Departemen Kehakiman. Israel, yang diharapkan menjadi "kuda hitam" Google dalam persidangan, malah menjadi sasaran empuk pertanyaan-pertanyaan tajam dari pengacara Departemen Kehakiman, Aaron Teitelbaum. Pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan Teitelbaum, yang tajam dan menusuk, berhasil "menghujam" kredibilitas Israel. Teitelbaum, dengan retorika yang tajam dan penuh percaya diri, menuding Israel sebagai "pakar profesional" yang sering "mengatasi" definisi pasar untuk klien-kliennya yang menghadapi gugatan anti-monopoli.

Teitelbaum, yang terlihat percaya diri dan memiliki strategi yang matang, bahkan mengungkap bahwa Israel telah dinilai "tidak kredibel" dan "salah memahami hukum anti-monopoli" dalam kasus-kasus sebelumnya. Tuduhan-tuduhan ini semakin menggerogoti kredibilitas Israel, dan menimbulkan keraguan di benak hakim. Israel, yang diharapkan menjadi "penyelamat" Google, juga didakwa memberikan pendapat yang "berbasis asumsi yang salah" dan sengaja menghilangkan data pengeluaran iklan untuk memanipulasi grafik yang ditampilkan.

Tuduhan-tuduhan yang dilayangkan Teitelbaum semakin melemahkan posisi Google. Teitelbaum, dengan ketajamannya, terus menggempur kredibilitas Israel dengan mengumumkan bahwa 80% pendapatan Israel berasal dari pekerjaan sebagai ahli saksi dalam kasus-kasus anti-monopoli. Fakta ini seolah menunjukkan bahwa Israel, yang sebelumnya juga pernah bekerja untuk Google dalam persidangan monopoli mesin pencari, hanya sekadar "boneka" yang dibayar untuk mendistorsi realitas. Jonathan Kanter, kepala divisi anti-monopoli Departemen Kehakiman, semakin menambah tekanan pada Google dengan mengumumkan keprihatinannya atas "pakar-pakar" yang sengaja menyebarkan ketidakpercayaan di sistem peradilan.

Kanter menyatakan bahwa hal ini merupakan ancaman serius bagi integritas sistem peradilan. Google, yang semakin terdesak, berupaya menyelamatkan diri dengan menampilkan Courtney Caldwell, CEO dari bisnis kecil yang pernah mendapat hibah dari Google dan muncul dalam materi pemasaran Google. Google berharap kesaksian Caldwell bisa mendukung argumen mereka bahwa keputusan Departemen Kehakiman yang merugikan Google akan berdampak negatif bagi bisnis kecil. Namun, harapan Google untuk memperoleh simpati hakim dengan menampilkan Caldwell, yang dianggap "sosok yang terkena dampak negatif" dari kebijakan Google, ternyata gagal.

Kesaksian Caldwell dinilai "hanya iklan Google". Pengamat, yang melihat ketidaksesuaian antara alasan Google dengan kesaksian Caldwell, menilai bahwa Google hanya mengandalkan saksi-saksi yang dibayar untuk mendukung argumen mereka, tanpa peduli dengan kebenaran. Google, yang semakin terdesak, seolah-olah berusaha menutupi jejak dominasinya dengan hanya fokus pada argumen bahwa kerajaan iklan mereka tumbuh secara organik, bukan hasil dari strategi anti-kompetitif yang menyingkirkan pesaing. Google, yang dipertanyakan kejujurannya, berkeras bahwa mereka hanya merancang produk yang efisien dan menarik bagi konsumen.

Namun, dokumen internal Google sendiri justru mengungkap bukti yang meruntuhkan argumen tersebut. Dalam dokumen internal Google, yang didapatkan oleh Departemen Kehakiman, David Rosenblatt, mantan presiden divisi iklan display Google, mengakui bahwa "hanya keajaiban" yang dapat membuat orang beralih dari platform iklan Google karena biaya perpindahan yang sangat tinggi. Rosenblatt, yang seharusnya menjadi "pelindung" Google, malah menjadi "pengkhianat" dengan mengumumkan strategi Google yang tidak bersih.

Rosenblatt, yang memamerkan kelicikan Google, juga menyatakan bahwa akuisisi DoubleClick for Publishers oleh Google akan membuat Google menjadi "Bursa Efek New York" di dunia iklan display, sehingga dapat memantau setiap penjualan iklan dan menguasai dunia iklan display seperti Google menguasai pencarian. Pengakuan ini seolah-olah membuka tabir kejahatan Google yang tersembunyi di balik strategi bisnisnya. Sebuah email dari Neal Mohan, yang saat ini menjabat sebagai CEO YouTube, yang ditemukan oleh Departemen Kehakiman, menunjukkan upaya Google untuk menguasai pasar iklan display dengan "memarkir" pesaing yang "paling banyak diminati".

Dokumen-dokumen internal Google ini seakan-akan mengungkap "rencana jahat" Google untuk menguasai dunia iklan display. Dokumen-dokumen yang semakin mengunyah Google ini menunjukkan bagaimana Google menggunakan strategi licin dan tidak bersih untuk mencapai tujuannya. Persidangan Google diwarnai dengan "pertempuran sengit" antara Google dan Departemen Kehakiman. Google berupaya keras "mencuci" citra mereka dan mempertahankan dominasinya. Namun, bukti yang terungkap dari dokumen internal Google sendiri membuat strategi mereka semakin terpuruk.

Departemen Kehakiman, yang dipersenjatai dengan bukti yang kuat dan pengacara yang agresif, terus "mengincar" Google. Departemen Kehakiman, yang semakin bersemangat untuk menjatuhkan Google, terus mengungkap kejahatan Google. Persidangan ini diprediksi akan berakhir pada bulan Desember. Hakim akan memutuskan apakah Google bersalah atas tuduhan monopoli. Keputusan ini bukan hanya akan menentukan nasib Google, tetapi juga akan berdampak besar pada masa depan industri teknologi dan periklanan. Keputusan ini, yang ditunggu-tunggu oleh semua pihak, akan memberikan gambaran terhadap masa depan Google dan industri teknologi secara keseluruhan.