- Regulasi AI Uni Eropa melarang penggunaan sistem AI untuk menyimpulkan emosi orang.
- Perusahaan-perusahaan bersikap hati-hati dalam menerapkan peraturan AI untuk menghindari pelanggaran.
- Regulasi yang tepat diperlukan untuk memaksimalkan manfaat AI dan meminimalkan risikonya.
pibitek.biz -Di era digital yang semakin canggih, AI telah berkembang pesat dan merambah berbagai aspek kehidupan manusia. Kehadiran AI membawa angin segar dalam berbagai bidang, seperti kesehatan, pendidikan, dan industri. Namun, di tengah euforia kemajuan AI, muncul pertanyaan krusial mengenai regulasi yang tepat untuk mengendalikan perkembangan AI dan memastikan manfaatnya bagi masyarakat. Salah satu contoh yang menarik adalah kasus ChatGPT, sebuah chatbot AI yang dikembangkan oleh OpenAI. ChatGPT telah meraih popularitas yang luar biasa dengan kemampuannya dalam berkomunikasi dan menghasilkan teks yang mirip dengan manusia.
2 – Keamanan Siber: RSA Terancam, Paket Palsu Merajalela 2 – Keamanan Siber: RSA Terancam, Paket Palsu Merajalela
3 – AI Apple: Kekecewaan dan Keterlambatan 3 – AI Apple: Kekecewaan dan Keterlambatan
OpenAI baru-baru ini merilis mode suara canggih untuk ChatGPT yang memungkinkan percakapan "langsung" di mana chatbot merespons dengan cara yang lebih mirip dengan manusia. Fitur ini memungkinkan ChatGPT untuk menafsirkan nada bicara dan kecepatan berbicara seseorang, sehingga dapat merespons dengan emosi yang sesuai. Namun, mode suara canggih ini tidak dirilis di Uni Eropa, dan kabar tentang "larangan" pun beredar luas. Banyak pihak berpendapat bahwa OpenAI mungkin telah menahan fitur ini karena kekhawatiran bahwa kemampuan ChatGPT untuk mendeteksi emosi dapat melanggar undang-undang AI Uni Eropa.
Undang-undang AI Uni Eropa adalah undang-undang AI utama pertama di dunia yang dirancang untuk mengatur penggunaan AI. Undang-undang ini melarang "penggunaan sistem AI untuk menyimpulkan emosi orang". Meskipun demikian, belum tentu mode suara canggih ChatGPT akan benar-benar dilarang berdasarkan peraturan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa OpenAI mungkin hanya bersikap hati-hati dalam merilis fitur baru di Uni Eropa. Curtis Wilson, seorang ahli data di perusahaan keamanan aplikasi Synopsys Software Integrity Group, mencontohkan bagaimana perusahaan-perusahaan bersikap hati-hati dalam menerapkan GDPR, peraturan perlindungaan data umum yang berlaku di Uni Eropa.
Wilson berpendapat bahwa bagian yang paling sering dirujuk dalam undang-undang AI Uni Eropa adalah Pasal 5, khususnya bab 1f yang melarang sistem AI untuk menyimpulkan emosi. Namun, bab ini juga secara khusus menyatakan bahwa larangan ini berlaku di "bidang tempat kerja dan lembaga pendidikan". Wilson menjelaskan bahwa kekhawatiran utama dari peraturan ini adalah kemungkinan sistem AI yang buruk dapat menyebabkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas karena kesalahan dalam menafsirkan emosi mereka.
Wilson menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan akan berusaha untuk menghindari menjadi "kelinci percobaan" dan terjerat dalam pelanggaran peraturan. Hal ini dapat menciptakan peluang bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang kepatuhan, karena semakin banyak peraturan AI diberlakukan di seluruh dunia. Wilson percaya bahwa kurangnya kejelasan dalam peraturan AI adalah masalah utama. Ia berharap bahwa peraturan AI di masa depan akan lebih jelas dan mudah dipahami oleh para pengembang. Wilson juga menyoroti pentingnya pedoman yang jelas, ringkas, dan akurat yang dapat diperbarui seiring perkembangan teknologi.
Luke Dash, CEO perusahaan kepatuhan ISMS.online, menegaskan bahwa kasus ChatGPT menunjukkan tantangan yang akan dihadapi perusahaan global di era AI. Dash menyatakan bahwa ketidakkonsistenan peraturan di berbagai wilayah dapat menghambat penerapan AI dan mempersulit kepatuhan bagi perusahaan-perusahaan yang beroperasi di berbagai wilayah. Dash juga menekankan perlunya harmonisasi standar internasional untuk menciptakan lanskap peraturan yang lebih koheren. Kimberley Hardcastle, Asisten Profesor di Universitas Northumbria, menambahkan bahwa regulasi AI sangat penting untuk mendorong penerimaan teknologi AI, tidak hanya di perusahaan, tetapi juga di masyarakat secara keseluruhan.
Hardcastle berpendapat bahwa regulasi yang terstruktur dengan baik tidak hanya dapat mengurangi risiko bias dan diskriminasi dalam AI, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan lapangan bermain yang adil bagi inovasi. Hardcastle percaya bahwa AI berkembang sangat cepat sehingga membutuhkan bentuk regulasi baru yang dapat beradaptasi dengan tantangan baru secara "real-time". Hardcastle juga menyoroti pentingnya mempelajari pelajaran dari era media sosial, di mana inovasi sering kali lebih cepat daripada regulasi, yang mengakibatkan konsekuensi sosial yang signifikan.
Hardcastle mengingatkan bahwa persaingan di antara perusahaan AI untuk mencapai AI umum (AGI) dapat mengarah pada pengembangan yang tidak bertanggung jawab dan tidak etis. Hardcastle menekankan bahwa untuk mencegah sejarah terulang kembali, para pemangku kepentingan harus menerapkan kerangka kerja peraturan proaktif yang memprioritaskan keselamatan dan etika, memastikan bahwa pengejaran kemajuan teknologi tidak mengorbankan kesejahteraan masyarakat. Meskipun AI memiliki potensi untuk membawa perubahan positif bagi kehidupan manusia, sangat penting untuk memastikan bahwa perkembangan AI berjalan sejalan dengan nilai-nilai etika dan sosial.
Regulasi yang tepat akan menjadi kunci untuk memaksimalkan manfaat AI dan meminimalkan risikonya. Di era global, dibutuhkan kerja sama internasional yang erat untuk membangun kerangka kerja peraturan AI yang konsisten dan efektif. Peraturan yang jelas, komprehensif, dan adaptif akan membantu mendorong inovasi yang bertanggung jawab dan memastikan bahwa AI digunakan untuk kebaikan bersama. AI memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan menyelesaikan berbagai tantangan global. Namun, untuk mencapai potensi penuh AI, diperlukan regulasi yang komprehensif dan efektif yang dapat menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan nilai-nilai etika dan sosial.