- AI berperan penting dalam memprediksi struktur tiga dimensi protein.
- Penemuan ini membuka peluang untuk pengembangan obat-obatan baru.
- Kontribusi para ilmuwan meningkatkan pemahaman tentang mekanisme penyakit.
pibitek.biz -Para ahli kimia di seluruh dunia terkesima dengan pengumuman penerima Nobel Kimia tahun 2024. Demis Hassabis, John Jumper, dan David Baker, ketiga ilmuwan yang berasal dari bidang ilmu komputer dan biokimia, mendapatkan penghargaan bergengsi tersebut atas kontribusi inovatif mereka dalam memanfaatkan AI untuk memecahkan salah satu teka-teki paling rumit dalam biologi: memprediksi bentuk tiga dimensi protein. Pencapaian ini menandai tonggak sejarah baru dalam dunia sains, di mana AI semakin berperan penting dalam menjawab pertanyaan fundamental dalam berbagai bidang ilmiah.
2 – Google Kerjasama dengan Reaktor Nuklir untuk AI 2 – Google Kerjasama dengan Reaktor Nuklir untuk AI
3 – Fitur Canvas ChatGPT Tampilkan Perubahan Teks 3 – Fitur Canvas ChatGPT Tampilkan Perubahan Teks
Karya inovatif yang dilakukan oleh para penerima Nobel Kimia tahun 2024 telah membuka jalan bagi pengembangan obat-obatan baru, pemahaman mendalam tentang mekanisme penyakit, serta kemajuan revolusioner dalam bidang biologi. Protein, sebagai mesin molekuler kehidupan, memainkan peran vital dalam semua organisme hidup. Protein tersusun dari rantai panjang asam amino yang terlipat menjadi bentuk tiga dimensi yang rumit. Bentuk tiga dimensi ini, yang sering disebut struktur protein, menentukan fungsi protein tersebut.
Misalnya, enzim, yang merupakan jenis protein, bertindak sebagai katalis dalam reaksi biokimia, membantu mempercepat atau mengatur proses-proses tersebut. Penting untuk memahami bagaimana protein terlipat dan berfungsi untuk mengembangkan obat-obatan yang dapat menargetkan enzim tertentu yang terlibat dalam jalur penyakit. Namun, memprediksi bentuk tiga dimensi protein hanya dengan mengetahui urutan asam aminonya bukanlah tugas yang mudah. Selama beberapa dekade, para ilmuwan telah berupaya keras untuk memecahkan teka-teki protein ini.
Penelitian tentang protein telah mencengkeram perhatian para ahli sejak lama, dan para ilmuwan berlomba-lomba untuk menemukan solusi atas teka-teki tersebut. Pada tahun 1972, Christian Anfinsen meraih Nobel Kimia atas penemuannya yang menunjukkan bahwa urutan asam amino dalam protein menentukan bentuk protein tersebut. Penemuan ini memberikan petunjuk penting tentang proses pelipatan protein dan membuka jalan baru untuk mendekati misteri yang telah lama membayangi dunia sains. Namun, meskipun penemuan Anfinsen sangat penting, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Bagaimana protein melipat dirinya sendiri menjadi bentuk tiga dimensi yang spesifik dalam waktu singkat? Apa saja interaksi yang terjadi antara atom-atom dalam asam amino yang menyebabkan pelipatan protein? Para ilmuwan menyadari bahwa diperlukan pendekatan baru untuk memahami dan memprediksi bentuk protein. Pendekatan tradisional yang melibatkan perhitungan rumit dan simulasi komputer terbukti kurang efisien dan terbatas dalam menangani kompleksitas pelipatan protein. Kemudian, muncullah AI, yang menawarkan solusi revolusioner untuk memecahkan teka-teki protein.
AI, khususnya teknik machine learning, diyakini sebagai senjata ampuh untuk mengungkap misteri yang tersembunyi dalam data besar. Machine learning adalah jenis AI di mana komputer belajar menyelesaikan masalah dengan menganalisis sejumlah besar data. Dalam kasus protein, AI dilatih pada database besar struktur protein yang telah ditentukan secara eksperimental, memungkinkan AI untuk belajar tentang prinsip-prinsip pelipatan protein. Salah satu tokoh kunci di balik keberhasilan AI dalam memecahkan teka-teki protein adalah Demis Hassabis.
Sejak kecil, Hassabis dikenal sebagai anak ajaib dalam bidang catur. Kecerdasannya yang luar biasa membuatnya menorehkan prestasi luar biasa di bidang catur, hingga akhirnya ia mendirikan DeepMind, sebuah perusahaan yang berfokus pada pengembangan AI untuk menyelesaikan masalah dunia nyata. Hassabis mendirikan DeepMind dengan tujuan menggabungkan ilmu saraf dengan AI untuk memecahkan masalah yang kompleks. DeepMind kemudian diakuisisi oleh Google pada tahun 2014, menjadikannya pusat penelitian AI yang terkemuka di dunia.
Salah satu terobosan penting DeepMind adalah pengembangan AlphaZero, sebuah program AI yang mampu belajar bermain catur tanpa bantuan manusia. AlphaZero belajar dari permainannya sendiri, mengalahkan program catur terkuat di dunia, Stockfish-8, dalam waktu singkat. Kemampuan AlphaZero dalam belajar dari permainannya sendiri merupakan terobosan besar di dunia AI. Para ilmuwan kemudian melihat potensi AI untuk memecahkan teka-teki protein, salah satu masalah paling kompleks dalam biologi. Pada tahun 2016, DeepMind, di bawah kepemimpinan John Jumper, seorang ahli kimia dengan latar belakang kuat dalam ilmu protein, memulai proyek AlphaFold.
Tim tersebut menggunakan database besar struktur protein yang ditentukan secara eksperimental untuk melatih AI, memungkinkan AI untuk mempelajari prinsip-prinsip pelipatan protein. AlphaFold2, program AI yang dikembangkan oleh DeepMind, mampu memprediksi struktur tiga dimensi protein dari urutan asam aminonya dengan akurasi yang luar biasa. AlphaFold2 menandai tonggak sejarah baru dalam bidang ilmu protein, membuka jalan bagi penelitian yang lebih mendalam tentang fungsi protein. Keberhasilan AlphaFold2 mendorong para ilmuwan untuk mengembangkan program AI yang lebih canggih.
DeepMind kemudian merilis AlphaFold3, versi yang lebih canggih dari AlphaFold, yang tidak hanya memprediksi bentuk protein tetapi juga mengidentifikasi situs pengikatan potensial untuk molekul kecil. AlphaFold3 menawarkan kesempatan luar biasa untuk mendesain obat-obatan yang secara tepat menargetkan protein tertentu, membuka kemungkinan baru dalam pengobatan penyakit seperti kanker dan diabetes. Sementara itu, David Baker, seorang ahli biokimia dari University of Washington, juga telah memberikan kontribusi besar dalam bidang ilmu protein.
Tim Baker mengembangkan metode berbasis AI yang disebut "halusinasi skala luas", yang digunakan untuk mendesain protein baru dari awal. Metode "halusinasi skala luas" menggunakan AI untuk menghasilkan pola baru, dalam hal ini protein, yang merupakan hasil yang masuk akal berdasarkan data pelatihan AI. Dengan menggunakan metode ini, para ilmuwan berhasil mendesain protein baru, termasuk enzim yang memancarkan cahaya, menunjukkan kemampuan AI dalam menciptakan protein sintetis yang belum pernah ada sebelumnya.
Pencapaian luar biasa dari Hassabis, Jumper, dan Baker menunjukkan bahwa AI bukan hanya alat untuk ilmuwan komputer, tetapi juga bagian penting dari masa depan biologi dan kedokteran. Ketiga ilmuwan ini telah membuka jalan bagi penemuan obat-obatan baru, pengobatan yang dipersonalisasi, dan bahkan pemahaman yang lebih dalam tentang kimia kehidupan itu sendiri. Karya mereka dalam memecahkan teka-teki protein memiliki implikasi yang luas untuk memahami mekanisme penyakit, mengembangkan terapi baru, dan merevolusi cara kita mendekati penelitian biologi. Di masa depan, diharapkan AI akan terus memainkan peran yang semakin besar dalam memecahkan misteri kehidupan, membuka peluang yang belum pernah ada sebelumnya untuk meningkatkan kesehatan manusia dan mengatasi tantangan global di bidang kesehatan.