- Masa depan umat manusia dengan AI masih penuh ketidakpastian.
- Pengembangan AI memerlukan sumber daya besar dan berpotensi meningkatkan emisi gas rumah kaca.
- Implementasi AI harus dilakukan dengan hati-hati dan bertanggung jawab untuk memastikan nilai-nilai kemanusiaan.
pibitek.biz -Masa depan umat manusia dengan AI merupakan sebuah misteri yang menantang dan penuh tanda tanya. Banyak yang membayangkan sebuah dunia utopia, di mana AI menjadi solusi atas berbagai permasalahan dunia. Namun, banyak juga yang meramalkan sebuah dunia dystopian, di mana AI justru menjadi ancaman bagi keberlangsungan umat manusia. Dario Amodei, CEO dari perusahaan AI Anthropic, termasuk dalam kelompok pertama, yang meyakini bahwa AI akan membawa kemajuan luar biasa bagi umat manusia. Melalui blog postingannya, ia mengumumkan visi utopianya tentang masa depan yang digerakkan oleh AI.
2 – Sengketa XRP: Pertempuran Hukum yang Tak Kunjung Berakhir 2 – Sengketa XRP: Pertempuran Hukum yang Tak Kunjung Berakhir
3 – Ancaman Cerberus, Trojan Perbankan yang Sulit Dideteksi 3 – Ancaman Cerberus, Trojan Perbankan yang Sulit Dideteksi
Dalam tulisannya yang berjudul "Machines of Loving Grace", Amodei melukiskan gambaran tentang AI yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan dunia yang selama ini dianggap tidak terpecahkan. Amodei membayangkan sebuah dunia di mana AI mampu melenyapkan kemiskinan, menyembuhkan depresi, mengatasi sindrom stres pascatrauma (PTSD), dan memajukan bidang medis secara signifikan. Bayangan utopia ini dibangun di atas fondasi kuat dari kemampuan AI yang terus berkembang dan potensi besar yang belum sepenuhnya terungkap.
Banyak pakar AI berpendapat bahwa kunci untuk mencapai dunia utopia tersebut adalah Artificial General Intelligence (AGI), yaitu AI yang memiliki kecerdasan setara dengan manusia. AGI dianggap sebagai penanda penting dalam evolusi AI, dan banyak yang memprediksi bahwa AGI akan tercapai dalam waktu dekat, bahkan dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Anthropic, perusahaan AI yang dipimpin oleh Amodei, tengah mengembangkan model AI bernama Claude 3. Model ini merupakan salah satu yang paling populer di pasaran dan bahkan telah memiliki aplikasi khusus.
Claude 3 dianggap sebagai langkah penting dalam perjalanan menuju terwujudnya utopia AI yang digambarkan oleh Amodei. Namun, di balik impian utopia yang diusung oleh Amodei, terbersit kekhawatiran akan potensi dampak negatif AI. Ketakutan akan skenario dystopian ala film Terminator atau Matrix masih menghantui banyak orang. Ada yang berpendapat bahwa AI akan mengambil alih pekerjaan manusia, menyebabkan pengangguran massal. Kenaikan harga kebutuhan pokok dan pengangguran massal dapat menjadi bom waktu bagi stabilitas sosial.
Ke mana arah perkembangan AI akan berujung, utopia atau dystopia, masih menjadi pertanyaan besar yang belum terjawab. Amodei sendiri mengakui bahwa tidak ada yang dapat memprediksi masa depan dengan pasti. Ia menekankan bahwa dampak AI terhadap masa depan manusia akan jauh lebih tak terduga dibandingkan dengan perubahan teknologi di masa lalu. Meskipun optimis, Amodei juga menyadari bahwa utopia AI bukanlah sesuatu yang terjamin. Selain potensi ancaman terhadap lapangan kerja, AI juga memiliki dampak negatif terhadap lingkungan.
Pengembangan dan pengoperasian AI memerlukan sumber daya yang besar, mulai dari energi hingga material, yang berpotensi meningkatkan emisi gas rumah kaca. Pengembangan AI yang semakin pesat berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi energi dan emisi. Energi yang dibutuhkan untuk menjalankan model AI yang kompleks sangat besar, dan peningkatan konsumsi energi ini berdampak negatif terhadap lingkungan. Penggunaan sumber daya yang berlebihan dalam pengembangan AI dapat memperburuk masalah perubahan iklim.
Pengaruh AI terhadap iklim semakin besar seiring dengan peningkatan kemampuan AI, yang membuat penggunaan sumber daya semakin intensif. Penggunaan AI yang tidak terkontrol dapat menjadi ancaman bagi keberlanjutan ekosistem dan kehidupan di bumi. Kekhawatiran lainnya muncul dari segi etika. AI yang semakin canggih dan otonom menimbulkan pertanyaan serius mengenai hak asasi manusia dan kontrol terhadap teknologi. Amodei, meskipun optimis, mengakui bahwa implementasi AI harus dilakukan dengan hati-hati dan bertanggung jawab.
Ia menekankan perlunya regulasi dan kontrol untuk memastikan bahwa AI berkembang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Masa depan AI masih penuh dengan ketidakpastian. Kita harus bersiap menghadapi berbagai kemungkinan, baik utopia maupun dystopia, dan memastikan bahwa AI berkembang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.