- Industri otomotif Jepang terlambat dalam pengembangan mobil listrik.
- Mereka membentuk dua kubu besar untuk mengejar ketertinggalan dari China.
- Aliansi Honda-Nissan-Mitsubishi bertujuan menggabungkan kekuatan dan sumber daya.
pibitek.biz -Industri otomotif Jepang, yang sedang terengah-engah dalam pengembangan mobil listrik (EV) di tengah perubahan industri yang mereka sebut "sekali dalam seabad", akhirnya memilih strategi baru. Alih-alih bersaing satu sama lain, mereka membentuk dua kubu besar untuk mengejar ketertinggalan dari China. Di satu sisi, ada Toyota, raksasa otomotif dunia yang punya perusahaan-perusahaan di bawah naungannya seperti Daihatsu, Suzuki, Subaru, dan Mazda. Total penjualan mereka di tahun fiskal yang berakhir Maret mencapai 16,6 juta unit, didorong oleh dominasi mereka di pasar mobil hybrid dan berbahan bakar konvensional.
2 – Kebocoran Data Asuransi Globe Life dan Upaya Pemerasan 2 – Kebocoran Data Asuransi Globe Life dan Upaya Pemerasan
3 – Misteri Profil Google Scholar Sir Isaac Newton 3 – Misteri Profil Google Scholar Sir Isaac Newton
Di sisi lain, ada Nissan dan Honda, dua rival yang akhirnya meleburkan persaingan mereka dan bergabung pada bulan Maret. Mitsubishi menyusul dan bergabung dengan aliansi ini pada bulan Agustus. Ketiga perusahaan ini punya total penjualan 8,3 juta unit pada tahun fiskal yang berakhir Maret. Kolaborasi ini bertujuan untuk menggabungkan kekuatan melalui pengembangan teknologi bersama, berbagi rantai pasokan, dan sumber daya. Meskipun begitu, mereka tetap akan memproduksi model mobil mereka sendiri. Dean Enjo, wakil presiden dan analis senior di Moody's Ratings, menyebut langkah ini sebagai "langkah strategis".
Dia menjelaskan bahwa konsolidasi ini akan memberi keuntungan yang signifikan, seperti kekuatan dalam jumlah, dukungan bersama, dan sumber daya yang dibagikan di tengah persaingan industri yang semakin ketat. Presiden Honda, Toshihiro Mibe, mengumumkan bahwa aliansi ini akan mempercepat penyelesaian masalah yang berkaitan dengan elektrifikasi dan AI di tingkat global. Mereka berharap bisa memimpin reformasi sosial sebagai pelopor di industri ini. Ketiga perusahaan ini berharap kolaborasi ini akan membantu mereka mengembangkan mobil listrik dan software-defined vehicle (SDV) dengan lebih efisien.
SDV, yang sering dibandingkan dengan smartphone, memungkinkan pembaruan software yang meningkatkan performa mobil. Dengan menggabungkan kekuatan dan sumber daya, mereka berharap dapat menekan biaya dan mempercepat pengembangan. Mibe mengakui bahwa mereka berada dalam situasi kritis dan tidak bisa mengejar ketertinggalan sendirian. Persaingan internal di antara para pembuat mobil Jepang memang sudah lama ada, tetapi ancaman terbesar datang dari luar. Mereka salah menilai permintaan dan pertumbuhan cepat merek EV seperti Tesla di Amerika Serikat dan BYD di China.
Para pembuat mobil Jepang terlambat dalam perlombaan EV, fokus pada mobil hybrid dan bertenaga hidrogen. Kendaraan hybrid, meskipun sering dianggap lebih bersih, masih menghasilkan emisi karena tetap bergantung pada bensin. Sementara itu, mobil hidrogen masih kurang populer karena harganya yang mahal dan kurangnya infrastruktur pengisian bahan bakar. Dengan semakin cepatnya mobil listrik mendominasi pasar global, para aktivis lingkungan meragukan komitmen para pembuat mobil Jepang terhadap target emisi nol.
Para pemegang saham juga mempertanyakan strategi mereka secara keseluruhan. Nissan, produsen EV terbesar di Jepang, menjual kurang dari 140.000 unit EV di seluruh dunia pada tahun 2023. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan Tesla yang menjual 1,8 juta unit dan BYD yang menjual 1,57 juta unit. BYD, yang didorong oleh permintaan global terhadap EV mereka yang terjangkau, bahkan berhasil menyalip Honda dan Nissan untuk menjadi produsen mobil terbesar ketujuh di dunia berdasarkan jumlah penjualan di kuartal kedua tahun 2023.
Ini membuat Toyota sebagai satu-satunya produsen mobil Jepang yang berada di atas BYD, dengan produsen mobil Eropa dan Amerika berada di antara keduanya. Kenaikan BYD didorong oleh kebijakan China yang menjadikan EV sebagai industri strategis. Sejak awal tahun 2000-an, China memberikan subsidi besar bagi produsen dan pembeli EV, serta berinvestasi dalam infrastruktur pengisian daya publik. Hal ini memungkinkan China membangun jaringan pasokan baterai mobil sendiri. Efisiensi skala produksi membantu menurunkan harga bagi pembeli.
Di sisi lain, segmen EV di Jepang tertinggal, dengan pasar domestik yang masih didominasi oleh mobil bensin dan hybrid. Mobil-mobil ini semakin ditinggalkan di China, bahkan produsen smartphone seperti Xiaomi pun ikut berlomba di pasar EV dan menargetkan posisi lima besar dalam waktu 20 tahun. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa para pembuat mobil Jepang akan kehilangan pangsa pasar di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Satoru Aoyama, direktur senior di Fitch Ratings, mengatakan bahwa Toyota, Honda, dan Nissan bersikap stagnan terhadap pasar China.
Mereka kehilangan pangsa pasar di tengah persaingan yang ketat dan tidak melakukan kontrol harga. Para pembuat mobil Jepang berharap bahwa aliansi Honda-Nissan-Mitsubishi dapat mendorong mereka untuk berinvestasi dalam teknologi baru, mempertahankan utilisasi kapasitas yang tinggi, dan merebut kembali pangsa pasar. Meskipun begitu, masih terlalu dini untuk mengatakan apakah langkah ini akan efektif. Berita di Jepang menunjukkan optimisme. Yomiuri Shimbun menulis bahwa aliansi ini adalah "kesempatan untuk membalikkan keadaan", sementara Sankei Shimbun mengatakan bahwa meskipun keterlambatan Jepang dalam pengembangan EV sudah mulai memengaruhi daya saing mereka di dunia, konsolidasi ini diharapkan dapat "menghidupkan kembali bisnis EV mereka".