- Harga properti di Dubai seolah-olah mulai turun, meskipun pasar masih sibuk.
- Properti offplan di Dubai menjadi primadona, namun harga listingnya seolah-olah mulai menurun.
- Pasar properti Dubai seolah-olah mulai berubah, harga properti mulai turun di beberapa area.
pibitek.biz -Selama ini, banyak investor yang terlena dengan mantra "beli aset sebanyak mungkin dengan pinjaman, karena harga aset pasti naik". Mereka seperti terhipnotis untuk berlomba-lomba menumpuk aset dengan modal pinjam, tanpa mempertimbangkan risiko. Tapi, tahun 2007 menjadi momen pahit yang memupus mimpi manis itu. Seolah-olah dunia investasi terguncang oleh badai besar. Kejadian serupa juga pernah terjadi di tahun 1929. Kesenangan boros mengumbar pinjaman dan menumpuk aset tiba-tiba sirna. Pandemi Covid-19 seolah-olah memicu amnesia kolektif.
2 – Kebocoran Data Asuransi Globe Life dan Upaya Pemerasan 2 – Kebocoran Data Asuransi Globe Life dan Upaya Pemerasan
3 – Google Kerjasama dengan Reaktor Nuklir untuk AI 3 – Google Kerjasama dengan Reaktor Nuklir untuk AI
Investor kembali terlena, lupa dengan pelajaran masa lalu. Tanpa peduli naik turunnya suku bunga, mereka berlomba-lomba membeli saham dan properti, seolah-olah harga aset akan terus meroket tanpa henti. Seolah-olah mereka berada di pesta pora tanpa batas, di mana kesenangan dan keuntungan adalah satu-satunya tujuan. Di tengah euforia itu, Dubai hadir sebagai pusat atraksi baru. Peluncuran properti offplan, atau yang belum dibangun, mendominasi pasar. Pilihan ini menjadi primadona, menguasai hampir empat per lima pangsa pasar di tahun 2024.
Kenapa properti offplan begitu populer? Karena cicilan bulanan yang dibayarkan kepada pengembang sangat ringan, kurang dari 1 persen per bulan. Transaksi pun melonjak tinggi. Orang-orang berasumsi bahwa pasar properti Dubai kebal terhadap kenaikan suku bunga. Mereka seolah-olah memiliki jimat sakti yang bisa melindungi mereka dari ancaman badai finansial. Namun, ironisnya, para analis yang dulu berteriak lantang bahwa harga aset kebal terhadap kenaikan suku bunga, kini malah menggembar-gemborkan potensi kebangkitan pasar properti, bermodalkan janji penurunan suku bunga.
Slogan-slogan mereka berputar-putar, seperti roda hamster yang tak berujung. Ada sedikit keanehan yang muncul di tengah hingar-bingar itu. Ternyata, harga listing, bahkan beberapa transaksi, di beberapa area baru seperti Dubai Islands, Dubai Harbor, City Walk, dan Dubai Marina, mengalami sedikit penurunan. Seperti angin segar yang menerobos dinding tebal euforia. Perbedaan harga listing ini sebenarnya bisa dijelaskan dengan beragamnya fasilitas yang ditawarkan di setiap area. Tapi, di balik semua penjelasan logis itu, ada perubahan haluan yang menarik.
Seolah-olah di tengah hingar-bingar pesta, muncul bisikan kecil yang mengingatkan bahwa pesta tak akan selamanya berlangsung. Perubahan ini seolah-olah menkonfirmasi pepatah kuno: "Tak ada kekurangan yang tak akan berakhir menjadi kelebihan". Fenomena serupa juga terjadi di kota-kota besar seperti San Francisco, New York, dan Miami. Harga di area kelas atas mulai turun, meski aktivitas transaksi di sebagian besar kota masih tinggi. Seolah-olah ada sedikit pergeseran sikap, di mana orang mulai ragu mengejar harga yang melambung tinggi.
Beberapa faktor berperan dalam perubahan ini. Salah satunya adalah pajak perusahaan yang mulai dipertimbangkan sebagai bagian dari biaya kepemilikan rumah. Akibatnya, semakin banyak keluarga kaya yang memilih untuk menyewa daripada membeli rumah, meskipun harga rumah sudah setengah lebih murah dibandingkan dengan periode sebelum pandemi. Di segmen menengah dan menengah ke bawah, minat tetap tinggi. Namun, dengan munculnya biaya layanan baru, calon pembeli yang tadinya berniat membeli kini mulai berpikir untuk menyewa jangka panjang.
Alasannya sederhana: mereka memilih untuk berinvestasi di pasar modal dan sekaligus menghindari "bom waktu" dari peluncuran properti baru yang terus bermunculan. Jumlah agen properti di Dubai semakin membengkak, seiring dengan meningkatnya insentif dari pengembang. Komisi yang diberikan bisa mencapai lebih dari 12 persen. Properti baru yang dirilis dipromosikan secara masif, bahkan langsung di-listing untuk dijual kembali. Seolah-olah pasar properti Dubai dipenuhi dengan "penjual" yang rela berlomba-lomba menawarkan properti baru, tanpa peduli dengan nilai sebenarnya.
Fenomena ini menciptakan situasi di mana "menunggu" menjadi strategi yang lebih bijak. Setelah periode euforia yang panjang, investor mulai berpikir ulang, melakukan refleksi, dan mencoba mencari nilai investasi yang sebenarnya. Mereka mulai menyadari bahwa mungkin ada investasi lain yang lebih menguntungkan, atau mungkin ada properti lain yang menawarkan nilai yang lebih baik. Mereka mulai mempertimbangkan "opportunity cost", yaitu keuntungan yang mungkin diperoleh jika mereka memilih untuk berinvestasi di tempat lain.
Penurunan harga listing dan transaksi mungkin hanya menjadi pertanda kecil, sebuah titik kecil di cakrawala yang luas. Namun, analisis yang ada saat ini masih terjebak dalam narasi "harga terus naik tanpa henti", tanpa mempertimbangkan faktor-faktor mikro dan makro yang mungkin terjadi. Mereka seolah-olah terhipnotis oleh mantra "harga terus naik", tanpa peduli dengan logika dan realitas yang ada. Mereka terus berteriak "beli sekarang sebelum terlambat!", tanpa peduli dengan risiko yang mengintai di balik kata-kata manis itu.
Mereka terus bersemangat mempromosikan "keuntungan fantastis" yang bisa diraih di pasar properti, tanpa peduli dengan resiko yang mungkin harus ditanggung. Dalam dunia yang terobsesi dengan keuntungan instan, logika dan akal sehat seolah-olah terlupakan. Keuntungan menjadi tujuan utama, tanpa peduli dengan resiko dan konsekuensinya. Seolah-olah mereka hidup dalam dunia fantasi, di mana keuntungan mengalir deras tanpa henti, dan risiko hanyalah mitos yang tak perlu dikhawatirkan. Penurunan harga listing dan transaksi mungkin hanya titik kecil di cakrawala.
Namun, kebijaksanaan untuk mempertimbangkan "opportunity cost" dan refleksi yang jernih tentang nilai sebenarnya dari investasi adalah kunci untuk menghindari "kekacauan" yang mungkin terjadi di masa depan. Dalam dunia yang penuh dengan jebakan dan ilusi, kebijaksanaan dan kesabaran adalah dua senjata yang paling ampuh.